Sejarah Farmakologi
Sejarah
farmakologi dibagi menjadi 2 periode yaitu periode kuno dan periode
modern. Periode kuno (sebelum tahun 1700) ditandai dengan observasi
empirik penggunaan obat dapat dilihat di Materia Medika. Catatan tertua
dijumpai pada pengobatan Cina dan Mesir. Claudius Galen (129–200 A.D.),
orang pertama yg mengenalkan bahwa teori dan pengalaman empirik
berkontribusi seimbang dalam penggunaan obat. Theophrastus
von Hohenheim (1493–1541 A.D.), atau Paracelsus: All things are poison,
nothing is without poison; the dose alone causes a thing not to be
poison.” Johann Jakob Wepfer (1620–1695) the first to verify by animal
experimentation assertions about pharmacological or toxicological
actions.
Periode
modern dimulai Pada abad 18-19, mulai dilakukan penelitian
eksperimental tentang perkembangan obat, tempat dan cara kerja obat,
pada tingkat organ dan jaringan. Rudolf Buchheim (1820–1879) mendirikan
the first institute of Pharmacology di the University of Dorpat (Tartu,
Estonia) in 1847 pharmacology as an independent scientific discipline.
Oswald Schmiedeberg (1838–1921), bersama seorang internist, Bernhard
Naunyn (1839–1925), menerbitkan jurnal farmakologi pertama. John J. Abel
(1857–1938) “The Father of American Pharmacology”, was among the first
Americans to train in Schmiedeberg‘s laboratory and was founder of the
Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics (published from
1909 until the present).
Regulasi
obat bertujuan menjamin hanya obat yang efektif dan aman, yang tersedia
di pasaran. Tahun 1937 lebih dari 100 orang meninggal karena gagal
ginjal akibat eliksir sulfanilamid yang dilarutkan dalam etilenglikol.
Kejadian ini memicu diwajibkannya melakukan uji toksisitas praklinis
untuk pertama kali. Selain itu industri diwajibkan melaporkan data
klinis tentang keamanan obat sebelum dipasarkan. Tahun 1950-an,
ditemukan kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastis. Tahun 1952
pertama kali diterbitkan buku tentang efek samping obat. Tahun 1960
dimulai program MESO (Monitoring Efek Samping Obat). Tahun 1961, bencana
thalidomid, hipnotik lemah tanpa efek samping dibandingkan golongannya,
namun ternyata menyebabkan cacat janin. Studi epidemiologi di Utero
memastikan penyebabnya adalah thalidomid, sehingga dinyatakan thalidomid
ditarik dari peredaran karena bersifat teratogen.
Tahun
1962, diperketat harus dilakukannya uji toksikologi sebelum diuji pada
manusia. Setelah itu (tahun 1970-an hingga 1990an) mulai banyak
dilaporkan kasus efek samping obat yang sudah lama beredar. Tahun
1970-an Klioquinol dilaporkan menyebabkan neuropati subakut mielo-optik.
Efek samping ini baru diketahui setelah 40 tahun digunakan.
Dietilstilbestrol diketahui menyebabkan adenocarcinoma serviks (setelah
20 tahun digunakan secara luas). Selain itu masih banyak lagi penemuan
ESO (Efek Samping Obat) yang menyebabkan pencabutan ijin edar atau
pembatasan pemakaian. Berbagai kejadian ESO yang dilaporkan memicu
pencarian metode baru untuk studi ESO pada sejumlah besar pasien. Hal
ini memicu pergeseran dari studi efek samping ke studi kejadian ESO.
Tahun 1990an dimulai penggunaan Farmakoepidemiologi untuk mempelajari
efek obat yang menguntungkan, aplikasi ekonomi kesehatan untuk studi
efek obat, studi kualitas hidup, dan lain-lain. Studi
Farmakoepidemiologi semakin bekembang, dan pada tahun 1996
dikeluarkanlah Guidelines for Good Epidemiology Practices for Drug,
Device, and Vaccine Research di USA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar